Deng Ile: Melihat tirai Zonk dari Jendela Ramadhan

Juli 04, 2015

Melihat tirai Zonk dari Jendela Ramadhan

Photo by Data-waze.com
Jakarta, Ibu kota negara- katanya, lebih kejam dari pada ibu tiri.  

Ban pesawat mulai menyentuh landasan pacu, perlahan getarannya serasa semakin keras memompa darah ke tulang belakang. Mukaku mungkin sempat pucat waktu itu tapi untungnya tak berlangsung lama kemudian pesawat berhenti diringi sepotong suara perempuan yang keluar dari speaker yang sudah mereka tanam di pesawat tersebut. Sayup dan welcome to Jakarta! bergegas semua penumpang seperjalanan mengepak barang dan berjalan keluar. I'm Out.

Sekeluarnya saya, cahaya terang yang menjemput seketika membelai kulit. Bingung, ini saya harus kemana? saya belum mengenal betul struktur bangunan ini untungnya dengan prinsip sotta, saya ikuti orang-orang yang lalu lalang. Saya sempat masuk toilet bukan untuk buang air tapi karna target yang saya ikuti dari tadi tiba-tiba putar haluan, pura-puralah saya cuci muka. kembali berjalan lalu akhirnya gerbang keluar kelihatan. "Mission Complete" di depan sudah ada Om yang menunggu dengan gagahnya memakai seragam loreng-loreng.

Sudah 2 jam berkeliling dengan om ini, cukup jauh ternyata tempat yang bakal saya tuju. Ini bukan kali pertama saya kesini tapi saya baru sadar betul Jakarta itu luas ternyata. Hoam, ditambah dahaga karena puasa masih tertahan menambah berat kepala yang juga kehausan mencari spot keren untuk dinikmati. Sesampai dikawasan Mangga dua, buru-buru saya ke hotel. Wait..wait bukan nginap. Hotel Novotel lantai 3, kebetulan disinilah besok saya ada hajatan. Setelah kepala ini dipenuh dengan jawaban bakal gimana saya besok, sekarang saya butuh tempat tinggal dulu. Keadaan tidak memungkinkan untuk tinggal sama om satu ini. Mereka sekeluarga harus pulang kampung juga, kan lagi waktu mudik. Sepetak kamar disewakan dengan harga 300 ribu disebuah gang kecil menjadi pilihan saya.

Tuhan Maha Besar, terdampar di kota besar tapi saya dianugrahi kenalan yang baik-baik. Teman samping kamar saya, Jajang dan Dedi. orang yang sampai saat ini masih gigih melawan kejamnya ibu kota. Mereka berdua berasal dari kota yang berbeda tapi sama-sama mengadu nasib di Jakarta dengan berbekal ijazah SMA. Saya sempat ngeri juga pas dengar mereka curhat soal rasanya tidur dikolong jembatan, Bagaimana membagi upah kerja untuk kehidupan di Jakarta serta istri dan anak dikampung dan berbagai pahit getir yang mereka rasa. Sekarang giliran saya, mereka bertanya soal Makassar. Kurasa mereka lebih ngeri soal wajah Makassar Kota. Dari cara mereka bertanya jelas dikepalanya sudah terbentuk sebuah gambaran kota garang yang siap menelan bulat-bulat warganya. Tapi saya jelas tidak menceritakan keadaan sebenarnya di Kota saya menetap. Aman-aman saja, Kataku. Makassar tidak ubahnya kota lain. dimana-mana kriminalitas terjadi, hanya saja Media yang keterlaluan membentuk citra buruk kota ini. Indahku. Sambil melanjutkan pembicaraan malam itu sampai waktu sahur tiba.

Seminggu disana terlalu lama. Makassar yang selalu bikin rindu, i'm coming. Akhir 2014 sampai hari ini kejadian demi kejadian menghampiri kota Makassar. Perang Etnis, Begal, Bentrok Mahasiswa vs warga dan lain-lain membuat saya berpikir ulang mengenai cerita yang saya sampaikan dulu di Jakarta.  Sepertinya saya salah.

Tepat Ramadhan setahun yang lalu saya menyapa Jakarta, Sekarang bulan suci kembali lagi. Jendela Ramadhan tahun ini seolah membuat saya melihat kembali ke tirai Zonk yang saya tinggal di Jakarta. Sebuah frame kehidupan yang kadang membuat saya malu sendiri untuk mengingatnya. Jika ia sempat membaca tulisan ini, Jajang dan Dedi yang dulu ramah menyambut saya di pondokannya semoga mereka tahu keadaan saya baik-baik saja meski keadaan disini tidak seperti yang saya ceritakan dulu. Beberapa hari yang lalu 3 Polisi jadi korban penyerangan kelompok tak dikenal, satu meniggal dunia. Tapi tenang saja Jang, disini aman-aman saja kok. Jangan terlalu banyak nonton Televisi makanya. [IJ]

#SebulanNgeblog
 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Post a Comment