Deng Ile: Bloodctober: Pasukan Berjubah Hitam

Juli 09, 2015

Bloodctober: Pasukan Berjubah Hitam


Bagian Pertama
Kucincang-cingcang mentong itu yang tidur dalam kelambu! Upa kalo hidup ki itu anak. Jelas seorang teman perempuan kepadaku yang menceritakan kejadian penyerangan dua tahun lalu yang ia dengar dari seorang teman lelakinya.

Temanku yang perempuan ini kebetulan kenal dengan salah seorang lelaki yang ikut melakukan penyerangan di Alauddin, Oktober - 2013 lalu. Saat itu saya masih ingat betul baru saja selesai Ujian Akhir untuk menyelesaikan pendidikan D3.

Saya hanya seorang lulusan baru yang haus jalan-jalan. Berbagai tempat saya datangi hanya untuk memuaskan dahaga kebebasan yang sempat terenggut gara-gara tugas akhir. Mungkin terlalu berat hari-hariku sampai tak juga kurasakan kepuasan yang kucari.

Akhir Minggu ini saya berencana naik gunung bersama seorang junior. Tepat malam jumat saya keluar membeli makanan untuk diatas nantinya, packing sana sini mempersiapkan segala hal yang dibutuhkan. Malam semakin larut, Semua bahan sudah terkumpul. Makanan, tenda, kompor, head lamp, alat masak, serta keperluan pribadi kami hambur rapi diruang tamu.

Pis, Kasika itu Sleeping Bag! Suruh saya ke teman yang akan saya ajak mendaki, lalu kutarik carrier 60 liter untuk kujejal alat mendaki. belum selesai kurapatkan barang terakhir seseorang datang bertamu kerumah, sambil menyebutkan nama teman dan memperkenalkan dirinya. Maaf apa saya bisa menumpang malam ini disini? soalnya kosan saya sudah tutup.  Lanjutnya. Saya yang mengenal teman yang ia sebutkan tadi dengan santai mempersilahkan tamu ini memakai kamar milikku. Sementara saya cukup di ruang tamu saja. Sejak selesai Ujianku memang kamar tak lagi banyak ku fungsikan, Hanya untuk sekedar mengganti baju lalu keluar lagi mencari kesenangan.

Jarum jam menunjuk ke angka tiga subuh dini hari, sebaiknya saya tidur dulu. Besok pagi saya mau langsung tancap gas menuju kampung terakhir dikaki gunung Bawakaraeng. Sebuah ranjang besi kami tempatkan diruang tamu karena tak ada lagi sofa yang bisa kami tempatkan disini. Saya tidur diranjang mi sama temanku, itu tamu dikamarku. kau dimana? tanyaku kepada kakak yang masih sibuk membakar sampah sisa ngumpul-ngumpul semalam dengan temannya. Saya di ruang tamu saja, dalam tenda. kata kakak, Kami memang sering mendirikan tenda didalam rumah karena dua kamar biasanya tak cukup menampung teman-teman yang kadang bergerombolan bermalam dikosan saya. Malam itu sepi hanya saya dan seorang junior, tamu lelaki, kakak dan dua orang adik perempuan dikamar paling belakang.

Seperti biasanya sebelum tidur saya selalu ingat sebuah pesan dari orang tua, ritual kecil membaca surah pendek dan beberapa ayat yang beliau sudah pilihkan. Lepas kubaca kurebahkan pipi kanan ke bantal guling yang kami bagi berdua malam itu. Memang agak susah mendapat bantal jika ada tamu yang nginap.

Malam semakin medekati fajar, samar-samar masih kudengar suara langkah kakak menuju tenda yang berada disamping ranjang besi tempatku berbaring. Teman setidurku sudah duluan terlelap sementara saya diliputi perasaan aneh yang dari tadi tak bisa ku tafsirkan.

Terdengar beberapa orang melompati pagar, sengaja tak kuhiraukan untuk menangani rasa cemas yang sedari tadi menggangguku. Memang disini sudah biasa yang namanya lompat pagar. Paling teman kosan disebelah yang biasa telat pulang. Beberapa menit berlalu benar tak ada yang aneh lalu kembali kuusahakan mata ini tetap terpejam agar saya bisa tertidur secepatnya.

Dua sampai tiga menit berselang tidak juga saya jatuh ke alam mimpi. Alih-alih tertidur sebuah suara bising tepat diparkiran memancingku beranjak dari pembaringan. Energi kupusatkan ditangan kanan supaya bisa mendorong saya dari posisi rebah menuju duduk. Saya harus memeriksa keadaan didepan! belum baik benar posisi dudukku tiba-tiba pintu rumah yang hanya berjarak 2 meter dari saya terbuka paksa. Gubrak!!! tiga orang pemuda yang mukanya berbalut kain hitam seketika masuk ke ruang tamu, tempat saya, teman dan kakak tertidur.

Ruang tamu rumahku sekarang sepertinya akan berubah menjadi arena pembantaian. Tiga orang ninja bersenjatakan parang panjang sudah siap mencincang-cincang kami yang belum baik perasaannya selepas tidur. Teriakan keras dari tiga pemuda ini sudah cukup membuat mata kami bertiga terbelalak. Mereka mengambil posisi masing-masing. Satu orang didepan ranjang besi, satu orang masuk terus kebelakang menuju kamar adikku dan satunya sudah sibuk menebaskan parangnya ke tenda tempat kakakku tertidur.

--bersambung--



Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Post a Comment