Bagian keempat |
Saya masih terdiam, Otakku serasa membeku tak bisa berpikir. Sebilah parang ditanganku kini jelas tak bisa kupakai berbuat banyak.Saya dan keluarga hanya kelompok kecil pemuda yang datang ke Makassar untuk menuntut ilmu. Kakak seorang mahasiswa Sosilogi, saya Mahasiswa IT, Adik di Pendidikan keguruan. Apa masalah kami? Setahuku belum ada.
Lantas siapa mereka? yang berani memporak-porandakan kerajaan kecil yang sudah kami bangun selama dua tahun ini.
2013 bulan Sembilan, Sebuah masalah antar beberapa Mahasiswa di Kampus Timur. Menurut yang kudengar, Masalah ini seharusnya bukan kami. Sebut saja "Bawang Putih" yang merasa kurang dianggap Kehebatan lelakinya mecoba membuat masalah di Kampus Timur. Sedang mereka si "Bawang Merah" yang sudah lama punya nama jelas tak ingin hegemoni yang sudah melekat kuat diwajahnya cuma diam saja. Namun bodohnya yang kurang dianggap tadi malah tak mendapat gubris yang berarti. Katanya, mereka bikin masalah tapi pas diajak serius berantem ehh malah diam aja jadinya kita diamkan. Sialnya, mereka sepertinya merasa tambah kurang dihargai oleh pihak sebelah akhirnya yang tadinya cuma masalah disatu kampus malah melebar ke beberapa kampus lainnya.
Jadilah kami yang tidak tahu masalah ini akhirnya kurang mawas. Tak ada broadcast untuk berhati-hati. Pun tak ada tanda sebelumnya akan kejadian naas yang menimpa kami. Rumah kami terlalu sederhana pikirku sampai-sampai siapapun merasa enak-enak saja datang dan ngumpul disini. Tidak saya pungkiri si Bawang merah dari Kampus Timur tadi memang acap kali datang untuk sekedar ngopi disini.
Mereka pasti berpikir tempatku adalah markas yang wajib diserang supaya mendapat perhatian yang diinginkan. Markas? tidak. Rumahku bukanlah Markas. Hanya saya, kakak dan adik yang tinggal disini. Meski kontrakan, rumah ini properti pribadi bukan lembaga atau hal semacamnya.
Penyerangan. Hal semacam ini mungkin pernah saya bayangkan akan terjadi, hanya saja hari ini saya benar-benar tidak siap menerima dan menyambut mereka. Berhadapan dengan Papporo, Salah satu senjata mematikan yang cukup ditakuti disini. Senjata ini memang tidak begitu mewah seperti AK-47 atau ShootGun tapi amunisi yang ribuan jumlahnya sekali diledakkan siap mencincang-cincang kulit.
Hanya beberapa meter kepalaku dengan Papporo' ini, Saya masih terdiam, Otakku serasa membeku tak bisa berpikir. Sebilah parang ditanganku kini jelas tak bisa kupakai berbuat banyak. Entah dari mana datangnya kakakku tiba-tiba memelukku dari depan sambil berusaha menyeret tubuhku masuk ke pekarangan rumah. Saya masih sempat melihat mereka dari sela bahu kakakku. Berusaha menyulut Papporo dan lainnnya kembali berlari mendekati rumah kami.
Pumpphhh!!! Baru Semeter kakak menyeretku Papporo sudah meledak. Ahh tidak itu belum semuanya. Seharusnya kepalaku sudah dipenuhi pecah beling kaca dan besi jika senjatanya meledak sempurna. Pasti masih ada selanjutnya.
Untunglah kami masih sempat menutup pintu depan sebelum mereka sampai kemari. Ramai sekali parkiran depan rumahku waktu itu sepertinya mereka benar-benar ingin membunuh kami semua. Tak ada jalan lain, semua harus masuk ke satu kamar. Begitu pilihan kakakku. Adik yang sedari tadi ketakutan kembali kesudut kamar, saya dan kakak bersiap dibelakang pintu. Sementara temanku hanya bisa duduk bersandar didinding kamar, Mungkin bukan lukanya hanya terlalu kaget kami sampai jantung pun sepertinya lupa cara berdetak dengan baik.
Benar, masuk ke kamar artinya kita mempersempit ruang gerak mereka. Pun jika sempat menerobos mungkin hanya 2-3 orang. Kukira ini masuk akal, Saya sudah memegangi erat parang milikku dan kakak seperti sudah tidak sabar mencabut badik tua yang iya dapat dari satu mimpi diwaktu kecilnya. Di kamar ini setidaknya kami sudah siap melawan. Tumpah darah sepertinya tak bisa kami elakkan, biarlah selama kami masih bisa melawan.
--bersambung--
#SebulanNgeblog
Baca Juga:
Bloodctober: Susun Strategi Perang - Bagian 5
Bloodctober: Menunggu Titah Baginda Senior - Bagian 6
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Post a Comment