Deng Ile: Terong Dicabein, Mencuri kisah Orang Pasar

Juni 20, 2015

Terong Dicabein, Mencuri kisah Orang Pasar

Disini jarang orang ngumpul, terus ngopi. Sibuk semua kerja. Andi Baso 
Sambil menengkuk sedikit tulang belakang lalu kuselipkan kedua tangan disela-sela paha, saya kemudian menyapa seorang bapak disini. "Pak, kalo sa mo ngopi dimana tempatnya?" Sapa saya ke bapak paruh baya yang sedang asik mendengar melalui earphone dari smartphonenya. Dengan tangkas bapak ini melepas earphone sebelah kanan lalu menjawab. "Ohh dekat sini dek", sambil menunjuk pojokan kiosnya lalu melanjutkan “ahh Tapi kalo sekarang sudah pulang mi penjualnya, di warkop daeng sija saja dekat ji”. Andi Baso menawarkan tempat ngopi selain dilokasi pasar sini. Bahasanku yang mengulik prilaku ngopi memancing reaksi agak lain dari bapak satu ini. Dengan ikhlas ia menggambarkan prilaku orang-orang Pasar Terong yang tidak begitu menaruh perhatian dengan ngumpul atau sekedar ngopi, Katanya mereka itu sibuk semua.

Siang ini di Pasar Terong saya seharusnya bersama teman-teman blogger Makassar lainnya jalan meliput keadaan disini, tapi karena pagi ini saya terlambat bangun akhirnya jadilah saya jalan sendiri.

IDiopni
Pengunjung Pasar Terong - Photo By IJ
Basa-Basi dengan Andi Baso seorang penjual barang campuran didalam gedung Pasar Terong berjalan mulus, sekedar duduk sejenak sambil membicarakan keadaan pasar. "Pak, saya liat ini pasar kayak tidak terurus dengan baik. Kenapa bisa?" Tanyaku sambil berusaha mencari posisi duduk yang pas dekat Andi Baso. Menurutnya, pihak yang bertanggung jawab untuk pemeliharaan sudah tidak mau urus begitu-begitunya. Lalu menambahkan, kalau kita disini tinggal tunggu kepastian 2017 saja. Karena kontraknya ini lokasi kan 20 tahun nah nanti 2017 itu baru habis. kita lihat 2017 saja". Mendengar penjelasan bapak ini saya mulai berpikir akan bagaimana nanti kelangsungan hidup penjual di Pasar terong. "Kalau harapannya bapak bagaimana?" Mau kontraknya lanjut atau tidak? tambah saya. "Iya kita mau ji lanjut tapi tergantung juga bagaimana nanti kan itu bukan kita yang urus". kata Andi Baso. Saya salah, tadinya berpikir kalau kontrak gedung tidak dilanjut mungkin-mungkin pedagang akan kehilangan tempat berjualan dan jadilah pasar ini kemudian tak bernyawa. Namun, Dani dan Wandi seorang penjual pakaian bekas “Cakar” di emperan pasar justru tak memikirkan soal itu.

Alkisah, di Pasar Terong yang dijejal pedangang yang tumpah ruah dahulu kala mendapat perhatian dari seorang ayah di Makassar. Pak Walikota waktu itu, selepas belajar dari tanah seberang kemudian menerapkan sistem Kerja pasar tempatnya belajar ke Pasar Terong. Jadilah dibangun sebuah gedung bertingkat empat, dan modern menggantikan pasar tumpah tadi. Mereka yang punya uang lebih menyewa kios didalam gedung meski mahal, selebihnya mereka yang tak mampu bersaing cukup menggelar dagangan di emperan jalan.

Angin membawa Sang Naga kearah yang lain, justru mereka yang tidak bisa menyewa tempat didalam gedunglah yang mendapati banyak pembeli. Orang malas naik tangga hanya untuk membeli keperluan sehari-hari yang toh juga bisa di beli diluar gedung.

Jadilah pedagang yang sudah membayar DP dan angsuran sewa kios dalam gedung berbondong-bondong menggulung tikar lalu menggelarnya diluar gedung. Sampai akhirnya lama berselang gedung ini hanya ditinggali oleh beberapa pedagang saja. Sungguh tragis nasib mereka, Uang yang sudah mereka gelontorkan jelas tak bisa ditarik kembali. Developer dan PD Pasar Makassar raya sebagai pihak pengelola tempat ini jelas tak merasa rugi toh kios bukan barang habis dalam sekali pakai.

Dan yang tersisa sekarang hanyalah keadaan memperihatinkan yang tampak ketika masuk ke bagunan utama, gelap dan bau menyengat tidak bisa dihindari. Banyak yang berfikir kenapa tempat ini dibiarkan tak terurus dan direnovasi supaya baik. toh nantinya juga menguntungkan pedagang disini. Tapi, ternyata tak semudah itu. Pedagang disini tak berpikir seberapa megah tempat ini tapi cukup teratur saja. Buktinya kita sekarang melihat bangunan yang pernah megah dan sebesar ini terbengkalai dan tetap saja kecenderungan pembeli disini juga tidak berubah-berubah, mereka ingin belanja diluar saja.

Saya angguk-angguk kepala, benar juga kata Dani dan Wandi yang silih berganti bercerita panjang lebar. Terong dicabein itulah dibenakku, pasar ini dipermak sedemikian rupa supaya nikmat tapi tetap saja terongnya belum bisa mengganti panganan lauk ketika makan. Dani yang selain penjual pakaian disini juga adalah salah satu dari banyak pemuda Makassar yang giat berkomunitas. Selepas saya memperkenalkan diri, Dani menyambut dengan menawarkan pembicaraan mengenai PKM2015 yang selesai dihelat beberapa waktu lalu. "Saya ikut di Komunitas Sepeda Ontel", kata Dani. "Ohh iya, sempat ja lihat-lihat itu sepeda yang dipamerkan, yang dekat bot Makanan toh". Sambungku.

"Kita itu disini yang pegang Preman". menurut Dani. Seketika pikiran saya menembus adegan-adegan film tentang penyiksaan dan praktik menagih komisi secara paksa. Tapi dengan santai Dani menuturkan justru merekalah yang bikin kita aman disini. "Ini kiosku saja yang buka’kan ka preman, jadi kalo ndada mereka saya nda tau mi mau apa juga". Dibeberapa data yang saya dapati di Internet memang ada preman yang urus soal lapak disini. Mereka bekerja sama dengan pihak pengelola. Jadi pastilah mereka bukan orang sembarang. Bayangan saya mengenai preman pasar mulai sedikit berubah meski sosok anarkis masih tertanam dikepala saya.

Lepas beberapa batang kretek diisap, serta dijamu kisah klasik Pasar Terong akhirnya saya memutuskan untuk berjalan lagi. beberapa langkah saya tinggalkan lapak ini saya teringat kalau belum ada foto yang saya simpan. Saya kembali untuk sekedar menjepret beberapa foto, Meski Dani sudah kabur duluan tapi untungnya wandi masih asik ditempat duduknya menimang anak pedagang dari sebelah tokonya.
IDiopini
Photo By IJ
Pasar Terong, kalau kalian membayangkan pasar dengan banyak terongnya kalian salah. Justru pasar terong dijejali penjual pakaian bekas. Mata saya sempat terhipnotis dengan harga kaos persatuan yang tertulis 5.000 rupiah saja. Namun setelah masuk saya mengurungkan niat untuk belanja karena sadar saya salah masuk toko. Disini khusus menjual pakaian cewek, meski tergiur sebenarnya.

Matahari mulai menurunkan kadar garangnya, sebaiknya saya pulang. Perut juga sudah merengek untuk dijejal. Selamat Sore dan sampai jumpa lagi Pasar Terong. [IJ]

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Post a Comment