Deng Ile: Bloodctober: Tamu dan Metafisika

Juli 10, 2015

Bloodctober: Tamu dan Metafisika

Bagian Ketiga
Saya masih sempat mengingat sebilah parang yang kusisipkan disamping lemari disudut kamarku. Parang yang dibawa kakakku ke Makassar hanya dengan niatan mengantisipasi kejadian yang tidak diinginkan. Parang yang berteman debu karena tak pernah dikeluarkan dari sarungnya. Apa daya kamarku bukanlah kamarku. Sekarang seorang tamu didalamnya mengunci rapat-rapat pintunya seolah tak ada kejadian diluar sini. Atau mungkin dia . . .

Tamu adalah raja. Begitu banyak orang menempatkan strata tinggi untuk tetamu sampai saya begitu naif mengiyakan hal itu. Apa iya saya naif? Tidak. Akan ada ribuan orang naif di negeri ini jika tak menganggap tamu adalah raja. Mereka adalah raja, memang! hanya sayang cuma sedikit tetamu yang sadar bahwa meskipun mereka raja tapi Tuan Rumah adalah Dewa.

Bak mandi sepertinya sudah penuh dengan air PAM, perlahan ritme tebasan mulai melambat. Kudengar kakakku berteriak. Allahu-Akbar!!! Allahu-Akbar!!! Allahu-Akbar!!!. Ohh dia masih bernyawa, atau mungkin tinggal itu sisa tenaga yang ia miliki. Ninja keluar dari dalam dengan gagah masih menenteng parang panjang miliknya. Mendekati kakakku yang baru saja berteriak.

Sekarang dua ninja siap melumat habis kakak yang tak bisa bergerak didalam lipatan tenda. Sepertinya mereka menang, berdiri diatas puncak bukit menatapi mangsa yang tidak ada lagi daya untuk bergerak. Kulihat beberapa tebasan dilayangkan, Sssiala'!! Mati tojeng mi kacea!! Pikirku.

Satu persatu ninja beranjak dari tahta kejayaannya. Saya masih gemetaran, kurasa biji yang sudah lama kujaga dengan baik sudah tak lagi berada ditempat yang seharusnya. Entah dimana bersembunyi, mungkin lantaran ketakutan sampai-sampai cara bernafas pun tak lagi kutahu caranya.

Setahuku kakak punya badik yang tidak pernah ia jauhkan dari kepalanya saat tertidur. Apa ia tidak berpikir kalau harusnya ia keluarkan saja besi tua itu dari sarungnya lalu menusuk satu-satu leher ninja ini. Atau saya yang terlalu kolot. Yaa mungkin kalau ia keluarkan badiknya bisa saja tak ada habisnya Ninja menguasai ketakutan kami.

Ruang tamu nampak hening ditinggal Predator dari antah-berantah. Kakak berdiri berusaha keluar dari lipatan tendanya. Dia masih hidup, tak ada luka yang berarti. Hanya goresan-goresan merah yang terlihat melilit dikedua lengannya. Tuhan tak pernah berbohong, besi pun kini sepertinya hanya seperti lidi yang berkali-kali menyentuh kulitnya. Setahuku kakak tidak kebal, kok bisa ia masih selamat?

Saya pun heran, kupikir sudah ada lubang besar didada dan kepalaku. Tapi tak ada, kuperiksa berkali-kali hanya bekas merah yang tampak jelas menggaris disekujur kulitku. Ada yang aneh, sekalipun saya tidak pernah belajar ilmu kebal. Ohh anugrah apa yang diturunkan ilahi subuh ini kepada kami? lantas darah siapa yang kulihat berserakan di alas tidurku?

Saya berlari meninggalkan ranjang besi keparat ini. Berusaha meraih Parewa yang sudah lama kusimpan. Parang masih disamping lemari bajuku, langsung saja kutarik dari sarungnya lalu sedikit memperbaiki bidakku yang sempat melonggar karena kejadian tadi.

Sebilah parang dari besi sudah kupegangi erat-erat. Kakakku juga sudah kulihat menyelipkan badik dipinggang kirinya. Ade'..ade'..!! yah bagaimana keadaan adik di kamar? Saya melangkahkan kaki menuju kamar, perlahan berusaha menghidari pecahan kaca jendela yang berhamburan dilantai. Mereka seperti anak ayam yang baru saja disudutkan anjing gila. Dipojok kamar bersandar ketakutan. Tidak masukji itu orang disini, kaca jendela ji na parangi, na dobrak ki pintu. Untung masih kuatji kunci na. Tersengal-sengal adikki menceritakan keadaannya. Pi ko dulu minum dek! Suruhku

Masih dikamar adikku, teman tidurku datang menghampiri. Kulihat langkahnya tak beraturan, Kenapako pis? Tanyaku singkat. Kakiku kak! Jelas temanku sambil merintih kesakitan. Tepat dibetis kirinya bekas sabetan sekira 4 senti panjangnya, robek sampai kelihatan tulang putih yang terbungkus daging.

Saya baru tersadar. Ada yang aneh, pikiranku kini dibaluti rasa penasaran. Kemana tamu yang bermalam di kamarku?

Mungkin terlalu bersemangat saya ingin meraih parang milikku sampai lupa seharusnya ada orang yang sedang berada disini. Lalu jika tak di kamarku, Kemana dia?

Degupan jantungku belum juga normal, serasa ada yang memacu adrenalinku. Kupaksa tubuhku keluar dari rumah, Maksudku ingin mengejar Ninja-ninja tadi. Di parkiran, motor sudah tak beraturan. Seolah direbahkan angin puting beliung lalu digilas truk kontainer. Berhamburan. Ahh sial, Banya' Teman-temanna!! Bukan 3 orang, didepanku sudah berdiri lebih 20 pemuda yang tampak seperti ninja tadi. Sekilas kulihat tangan mereka dilengkapi juga parang panjang ada juga Panah atau kami sering menyebutnya busur. Tapi bukan itu yang membuatku menghentikan langkah. Tepat 5 meter didepan mukaku sudah ada lelaki dengan Papporo' di tangannya. Kulihat jelas dalam posisi agak jongkok lelaki ini membakar sebuah lubang kecil yang ada dibatangan Papporo tadi.

Saya masih terdiam, Otakku serasa membeku tak bisa berpikir. Sebilah parang ditanganku kini jelas tak bisa kupakai berbuat banyak.

--bersambung--

#SebulanNgeblog

Baca Juga:
Bloodctober: Ihwal Penyerangan - Bagian 4
Bloodctober: Susun Strategi Perang - Bagian 5
Bloodctober: Menunggu Titah Baginda Senior - Bagian 6

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Post a Comment